gatra.com(05-01-2012): Nelayan kecil sering menjadi sumber masalah dua negara. Mereka ke laut sekedar mencari ikan. Namun, dengan keterbatasan alat navigasi yang mereka miliki, maka nelayan kecil sering sekali tidak mengenali batas antar negara di lautan yang memang secara fisik tidak terlihat. Akibatnya, mereka sering jadi sasaran empuk penangkapan satuan patroli keamanan laut baik dari Indonesia dan Malaysia.
Klaim klasik yang sering dipakai adalah telah terjadi pelanggaran batas laut oleh nelayan. Sejumlah kasus penangkapan nelayan di Selat Malaka, baik oleh aparat Malaysia atau Indonesia misalnya, sering sekali menjadi isu besar yang berkepanjangan dan menguras energi kedua belah pihak. Untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul di wilayah yang disebut sebagai overlapping claim area tersebut, maka pemerintah Indonesia dan Malaysia duduk bersama untuk membahas masalah itu pada tataran kebijakan strategis dan tataran taktis operasional.
Itulah sedikit kado yang mengemuka dalam perayaan HUT Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) di Graha Marinir, Kwitang, Jakarta Pusat, Kamis, 5 Januari 2011. “Kini Bakorkamla sudah tidak balita lagi,” ungkap Menko Polhukam Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto yang juga Ketua Bakorkamla di awal sambutannya. Tepat, di usianya yang ke-5 Bakorkamla sudah mengalami banyak kemajuan berarti, baik dari aspek kelembagaan, kapasitas personal, penguasaan teknologi dan tugas operasional di lapangan.
Tecatat sudah 20 kali operasi keamanan di laut dengan nama “Operasi Gurita” dilakukan di berbagai wilayah laut di Indonesia. Hasilnya, setiap tahun ratusan milyar rupiah potensi kerugian negara berhasil diselamatkan dari berbagai tindak kejahatan yang berlangsung di wilayah laut Republik Indonesia. Institusi yang lahir kembali melalui Perpres No. 81 Tahun 2005 tersebut, memiliki tugas utama melakukan koordinasi penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan operasi keamanan laut secara terpadu.
Dalam rangka tugasnya tersebut, menurut Djoko Suyanto, tantangan yang diemban Bakorkamla akan makin kompleks. “Salah satunya dalam menangani wilayah laut yang sering menimbulkan overlapping claim area atau klaim batas/wilayah antara dua negara atau lebih,” kata Djoko. Kawasan yang selama ini sering terjadi overlapping claim area adalah sekitar Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia menyangkut nelayan dari kedua negara yang sering melintas selat tersebut.
Untuk menciptakan zero conflict atau tidak adanya konflik yang muncul atas masalah penanganan nelayan tersebut, maka dilakukan pembahasan kerangka common guidelines antar dua negara, yang nantinya dalam tataran taktis operasional di lapangan akan berbentuk standard operation procedure (SOP). “Diharapkan dalam pelaksanaannya di lapangan bisa benar ditangani dan mendapat perhatian, karena masalah kecil bisa menjadi masalah di parlemen, jalanan, politik dan hubungan kedua negara,” pesan Djoko kepada segenap stakeholders dan instansi anggota Bakorkamla.
Dalam pembahasan terakhir kerangka common guidelines pada 28 dan 29 Desember 2011 lalu telah dihasilkan titik temu dan sudah dapat dilaksanakan sebagai acuan per awal Januari 2012. Pembahasan kerangka comman guidelines itu sendiri awalnya merupakan hasil pertemuan Pemerintah RI dan Malaysia pada KTT ASEAN, 16 November 2011 lalu. Kedua negara sepakat untuk membahas dan melaksanakan SOP sehingga di daerah overlapping claim area yang berada di Selat Malaka tidak muncul konflik.
Dalam kesempatan terpisah menurut Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Bakorkamla Laksdya TNI Y. Didik Heru Purnomo, yang dilakukan oleh aparat di lapangan adalah pada tataran taktis operasional. “Jadi tidak membahas masalah kedaulatan, masalah rezim hukum yang ada di daerah overlapping claim area tersebut. Pokok pembahasaan adalah bagaimana kita mengelola daerah tersebut dengan prinsip-prinsip persaudaraan dan mengurangi konflik yang timbul.”
Terkait hal itu, sebelumnya Bakorkamla telah melakukan pertemuan awal dengan Majlis Keamanan Negara (MKN) Malaysia pada 20-30 November 2011. Wilayah maritim yang menjadi fokus pembahasan common guidelines mencakup area Selat Malaka, Timur Selat Singapura, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi. Sedangkan permasalahan yang menjadi topik pembahasan adalah menyangkut perampokan di laut, pencemaran laut, perikanan, penyelundupan, keselamatan pelayaran, pendatang tanpa izin dan pelanggaran wilayah.
Sebagai gambaran, setiap masalah dibedah secara detail dan sekaligus dipetakan kategorinya. Masalah perikanan terkait nelayan, maka dibedakan nelayan tradisional yang memakai kapal di bawah 5 gross ton (GT) dengan nelayan non-tradisional yang memakai kapal ukurang di atas 5 GT. Lalu dalam penggunaan alat tangkap dijelaskan soal penggunaan alat tangkap ikan yang tidak diperbolehkan seperti trawl atau pukat harimau, bahan peledak, strum ikan, racun ikan dan bahan kimia lainnya yang mengancam ekosistem laut dan mencemari laut.
Dalam pembahasan itu delegasi Bakorkamla pada poin principle dan elements mengusulkan agar dibicarakan substansi mengenai praktik banyaknya kapal-kapal kecil yang patut dicurigai dan diduga sebagai bakal calon pelaku kriminal. Mereka ini sering berkedok sebagai nelayan, namun mereka bisa saja membawa obat-obatan terlarang dan bahkan manusia untuk diselundupkan.
Aparat keamanan Indonesia yang mendapat tugas di Selat Malaka telah lama mensinyalir adanya kapal kecil yang dipakai pelaku kriminal yang berpura-pura sebagai nelayan tradisional. Mereka ini kemudian melakukan perampokan dan menyelundupkan barang. Praktik ini dinilai merugikan nelayan tradisional, sehingga tetap harus diwaspadai dan melahirkan kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia.
Selanjutnya Bakorkamla dengan Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) akan melakukan sosialisasi terhadap perbatasan wilayah (Indonesia-Malaysia) yang masuk kategori abu-abu atau belum jelas dan juga tindakan apa yang harus dilakukan sesuai SOP dan ketentuan lain yang berlaku. Sosialisasi diberikan kepada para pengguna laut terutama kepada pada nelayan yang tinggal di pesisir perbatasan. (GAG)
Itulah sedikit kado yang mengemuka dalam perayaan HUT Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) di Graha Marinir, Kwitang, Jakarta Pusat, Kamis, 5 Januari 2011. “Kini Bakorkamla sudah tidak balita lagi,” ungkap Menko Polhukam Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto yang juga Ketua Bakorkamla di awal sambutannya. Tepat, di usianya yang ke-5 Bakorkamla sudah mengalami banyak kemajuan berarti, baik dari aspek kelembagaan, kapasitas personal, penguasaan teknologi dan tugas operasional di lapangan.
Tecatat sudah 20 kali operasi keamanan di laut dengan nama “Operasi Gurita” dilakukan di berbagai wilayah laut di Indonesia. Hasilnya, setiap tahun ratusan milyar rupiah potensi kerugian negara berhasil diselamatkan dari berbagai tindak kejahatan yang berlangsung di wilayah laut Republik Indonesia. Institusi yang lahir kembali melalui Perpres No. 81 Tahun 2005 tersebut, memiliki tugas utama melakukan koordinasi penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan operasi keamanan laut secara terpadu.
Dalam rangka tugasnya tersebut, menurut Djoko Suyanto, tantangan yang diemban Bakorkamla akan makin kompleks. “Salah satunya dalam menangani wilayah laut yang sering menimbulkan overlapping claim area atau klaim batas/wilayah antara dua negara atau lebih,” kata Djoko. Kawasan yang selama ini sering terjadi overlapping claim area adalah sekitar Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia menyangkut nelayan dari kedua negara yang sering melintas selat tersebut.
Untuk menciptakan zero conflict atau tidak adanya konflik yang muncul atas masalah penanganan nelayan tersebut, maka dilakukan pembahasan kerangka common guidelines antar dua negara, yang nantinya dalam tataran taktis operasional di lapangan akan berbentuk standard operation procedure (SOP). “Diharapkan dalam pelaksanaannya di lapangan bisa benar ditangani dan mendapat perhatian, karena masalah kecil bisa menjadi masalah di parlemen, jalanan, politik dan hubungan kedua negara,” pesan Djoko kepada segenap stakeholders dan instansi anggota Bakorkamla.
Dalam pembahasan terakhir kerangka common guidelines pada 28 dan 29 Desember 2011 lalu telah dihasilkan titik temu dan sudah dapat dilaksanakan sebagai acuan per awal Januari 2012. Pembahasan kerangka comman guidelines itu sendiri awalnya merupakan hasil pertemuan Pemerintah RI dan Malaysia pada KTT ASEAN, 16 November 2011 lalu. Kedua negara sepakat untuk membahas dan melaksanakan SOP sehingga di daerah overlapping claim area yang berada di Selat Malaka tidak muncul konflik.
Dalam kesempatan terpisah menurut Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Bakorkamla Laksdya TNI Y. Didik Heru Purnomo, yang dilakukan oleh aparat di lapangan adalah pada tataran taktis operasional. “Jadi tidak membahas masalah kedaulatan, masalah rezim hukum yang ada di daerah overlapping claim area tersebut. Pokok pembahasaan adalah bagaimana kita mengelola daerah tersebut dengan prinsip-prinsip persaudaraan dan mengurangi konflik yang timbul.”
Terkait hal itu, sebelumnya Bakorkamla telah melakukan pertemuan awal dengan Majlis Keamanan Negara (MKN) Malaysia pada 20-30 November 2011. Wilayah maritim yang menjadi fokus pembahasan common guidelines mencakup area Selat Malaka, Timur Selat Singapura, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi. Sedangkan permasalahan yang menjadi topik pembahasan adalah menyangkut perampokan di laut, pencemaran laut, perikanan, penyelundupan, keselamatan pelayaran, pendatang tanpa izin dan pelanggaran wilayah.
Sebagai gambaran, setiap masalah dibedah secara detail dan sekaligus dipetakan kategorinya. Masalah perikanan terkait nelayan, maka dibedakan nelayan tradisional yang memakai kapal di bawah 5 gross ton (GT) dengan nelayan non-tradisional yang memakai kapal ukurang di atas 5 GT. Lalu dalam penggunaan alat tangkap dijelaskan soal penggunaan alat tangkap ikan yang tidak diperbolehkan seperti trawl atau pukat harimau, bahan peledak, strum ikan, racun ikan dan bahan kimia lainnya yang mengancam ekosistem laut dan mencemari laut.
Dalam pembahasan itu delegasi Bakorkamla pada poin principle dan elements mengusulkan agar dibicarakan substansi mengenai praktik banyaknya kapal-kapal kecil yang patut dicurigai dan diduga sebagai bakal calon pelaku kriminal. Mereka ini sering berkedok sebagai nelayan, namun mereka bisa saja membawa obat-obatan terlarang dan bahkan manusia untuk diselundupkan.
Aparat keamanan Indonesia yang mendapat tugas di Selat Malaka telah lama mensinyalir adanya kapal kecil yang dipakai pelaku kriminal yang berpura-pura sebagai nelayan tradisional. Mereka ini kemudian melakukan perampokan dan menyelundupkan barang. Praktik ini dinilai merugikan nelayan tradisional, sehingga tetap harus diwaspadai dan melahirkan kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia.
Selanjutnya Bakorkamla dengan Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) akan melakukan sosialisasi terhadap perbatasan wilayah (Indonesia-Malaysia) yang masuk kategori abu-abu atau belum jelas dan juga tindakan apa yang harus dilakukan sesuai SOP dan ketentuan lain yang berlaku. Sosialisasi diberikan kepada para pengguna laut terutama kepada pada nelayan yang tinggal di pesisir perbatasan. (GAG)
Info by : Gatra News, Editor by : Sertu Maritim M. Rifai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar